Sunday, March 23, 2014

Thank Yous!

March 23, 2003 will always hold the key to one of the sweetest-happiest-irreplaceable memory. The magical date. Numbers that simply scratch a big smile. Lord, the time run way too fast, I think. 11 years ago. You're literally too far from me now. Yet I can't even stop my brain to run through that one day memory's details, every year. It might happen ages ago, but you're the first big hearted person that I knew. Thank you for being such an example for this nonsense-stubborn girl. Thank you for giving me the chance to walk with you. Thank you for letting me feel so flattered. That day, you might think it was nothing. Up until now, I still remember. So it's not nothing. It's a BIG thing. At least, for me. You only take me for one day, but the happiness stay. You're part of people that I love and care about that'll always in my prayer. I never had the chance to say a proper and serious thank you. From the deepest part of my heart, thank you :)

The other thank you goes to You. Thank you for "accidentally" putting her in front of my eyes. Thank you for showing me what's  the meaning of a big heart. Thank you for letting me learn something not the hardest way but the happiest way. Thank you for slipping in rainbow in the middle of thunders. Thank you, Lord.

Saturday, March 8, 2014

Muka dua

Aku angkat tangan. Bukan menyerah. Aku hanya ingin kipas-kipas karena kelewat gerah. Mulutmu menyuguhkan kedamaian. Tapi matamu siap menghunuskan senjata. Aneh. Kamu muka dua tapi kerap kali tertangkap sedang berulah. Tapi tak juga jera. Malah semakin merajalela. Tak merasa malu, sedikit pun tidak. Jangan berdusta, kamu terlalu sering tertangkap basah. Malah menunjukan kamu bodohnya parah.

Sunday, February 16, 2014

yang terbaik


Semalam akal sehat mampir mengetuk sadarku. Dan tak seperti biasa nya, aku mau mendengarkan. Aku diajak berpikir ulang tentang kamu. Masa kontrak kamu sebagai pengisi hati tampaknya sudah akan berakhir. Ya. Akhirnya! Bukan karena aku mati asa. Bukan karena kamu terlalu kebal rasa. Tapi karena aku sadar saja. Rasa yang aku punya untuk kamu belum bisa kuhitung pasti seberapa besar. Rasa yang aku punya sudah cukup aku berikan percuma. Mungkin memang rasa ku harus menetap di titik ambang, tanpa perlu dijelaskan. Karena pada akhirnya bukan aku yang paling tahu. Dia jauh lebih tahu. Dia tahu aku hanya mampu bertahan hingga titik ini. Lebih dari titik ini, mungkin hanya akan membuat aku lebih patah. Aku mungkin terkoyak lebih parah. Dia tahu, dan dia beri yang aku mampu. Meski aku mengais menangis, Dia tak pernah berhenti berbisik  “ini yang kamu mampu, ini untuk yang terbaik” di tengah bising nya rasa yang berkecamuk bercampur dengan putus asa. Dia tak pernah beranjak meski aku mengusir sepenuh hati. Dia tetap ada meski aku setengah mati marah. Dia mendampingiku hingga aku mengerti ini yang terbaik.

Rindu....


Entah sejak kapan sang rindu menabuh genderang perang terhadap aku. Sang rindu sudah kehabisan sabar untuk mengetuk pintu ku. Rindu menyerah pada aku yang tak ingin mendengar. Rindu memutuskan untuk memaksa aku mendengar setiap pekik nya. “PERHATIKAN AKU!”, itu kata sang rindu. Aku tahu tapi aku tak mungkin tak mengabaikannya. Aku tak mungkin menjawab sang rindu jika yang dituju tak mampu berkata-kata bahkan sepatah pun. Aku tak mungkin menghadapi sang rindu jika yang dituju tak berniat menanggapi. Aku tahu ketika aku membuka sedikit saja pintu untuk sang rindu, aku hanya akan mengikis lagi yang namanya hati. Hati sudah cukup terkikis hingga titik ini. Aku takut hati memutuskan berhenti untuk merasa karena selama ini yang dirasa cuma perih. Aku tahu ketika aku membiarkan rindu lepas, yang kelak dihadapi nya bukan yang dituju tapi semata hanya dinding yang menghalangi. Aku tahu itu semua. Rindu, berteriaklah sesukamu. Tapi lakukan itu di sudut terdalam hati, supaya tak perlu ada yang mendengar. Terlebih lagi tak perlu didengar yang dituju. Supaya tidak ada lagi sakit hati. Yang ada cuma rindu yang tersembunyi. Aku lebih memilih berperang dengan sang rindu daripada harus diabaikan sekali lagi.

Friday, January 31, 2014

Ini cerita klasik....

Ini cerita klasik tentang dia yang terlalu bodoh untuk menyadari kebodohan nya. Dia yang mengira akan mudah menyingkirkan nya ketika semua telah tersampaikan. Dia yang mengira akan ada di titik lega tanpa dihimpit lagi oleh rasa. Dia yang tidak cukup pintar untuk langsung menyadari kalau dia salah. Apa yang dia kira, tidak sejalan dengan apa yang pada akhirnya nyata, apa yang pada akhirnya dia rasa. Dia yang butuh waktu lebih dari sesaat untuk menyadari kalau dia belum sepenuh nya menghembuskan lega. Dia yang terlambat menyadari dia salah. Salah ketika mengira semua akan baik-baik saja. Salah ketika mengira dia bisa melanjutkan perjalanan. Salah ketika mengira dia sudah sampai di titik akhir pengakuan tanpa perlu mempertanyakan. Salah ketika dia terlalu menyepelekan rasa yang ada. Rasa yang memiliki tingkat kekeraskepalaan sejajar dengan si empunya. Rasa yang memiliki tingkat keegoisan yang tak mau kalah dengan dia. Rasa yang memutuskan untuk tetap bertahta. Bahkan ketika dia sudah berkali-kali membunuh nya. Rasa yang memilih untuk tak menggubris doa dia yang meminta nya musnah. Dia sudah terlalu lelah untuk kembali menggapai nya. Tapi terlalu keras kepala untuk menyerah. Pada akhirnya dia menjadi yang paling dibenci, dia menjadi yang diam. Menangis dalam diam. Bertanya pada diam. Bersahabat dengan diam. Ini cerita klasik yang berakhir klasik, dibungkam diam.

Saturday, January 4, 2014

Sesungguhnya ini adalah serpihan kecil yang aku temukan di antara semerawutnya asa yang sudah pecah terbuang. Serpihan yang entah apakah akan kutemukan yang lain nya.
Satu kata "bodoh" pun tak cukup menggambarkan betapa tak berdaya nya aku menghadapi penguasa rasa.
Satu tanya "kenapa" pun tak bisa terjawab meski sudah terkumpul ribuan alasan.
Ini rasa yang aku punya, yang aku cipta,yang aku ijinkan ada tapi tak berminat sama sekali untuk dikendalikan.
Aku mungkin tampak tak bermasalah, tidak berkutat memikirkan, cukup kuat untuk berdiri tegap.
Sementara sesungguhnya semua jauh berbeda.
Aku memilihnya dan aku salah.
Aku salah dan aku tak juga jera.
Aku tak jera dan memilih hentikan waktu, mendekap sang rasa supaya tak beranjak hingga aku sampai di titik lelah.
Serpihannya masih berantakan. Belum berminat menyatu, hanya menaruh asa pada waktu. Masih percaya waktu akan jadi penyembuh. Waktu yang kerap jadi penyelamat semua ragu. Bahkan ketika meragu pada diri. Ragu pada setiap rasa yang terlanjur dipilih. Waktu yang yakinkan aku, waktu bisa jadi penyembuh jitu. Waktu yang aku perlu, waktu juga yang mengujiku, sudah seberapa aku mampu. Di tengah himpitan waktu yang menyesak, tak lagi mungkin lari mengelak. Aku terdesak di tengah detak yang tak lagi kuat. Menyepi menepi bersama isak. Aku mengiba meminta sudahi semua. Aku cuma bisa merengek meminta cepatlah sang pemilik melajukan sang waktu di dunia.